Minggu, 14 Februari 2016

Sabtu, 2 Januari 2016 - 05:38 MEA Itu untuk Ajang Kolaborasi Bukan Arena Ajang Pertarungan Bebas - See more at: http://www.indopos.co.id/2016/01/mea-itu-untuk-ajang-kolaborasi-bukan-arena-ajang-pertarungan-bebas.html#sthash.hqQxR42A.dpuf

MEA Itu untuk Ajang Kolaborasi Bukan Arena Ajang Pertarungan Bebas

 16 Google +0  0  0  0  0
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015. Foto: rmol.co
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Foto: rmol.co
JAKARTA, indopos.co.id – Skema Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau Asean Economic Community (AEC) sudah resmi berlaku mulai 31 Desember 2015. Indonesia pun harus bergerak cepat untuk mengoptimalkan MEA.
Anggota Tim Ahli Wakil Presiden Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, selama ini banyak yang salah kaprah yang mengibaratkan MEA layaknya arena pertarungan bebas antar negara Asean. ”Padahal, misi utama MEA itu untuk kolaborasi,” ujarnya kemarin (1/1).
Sebagaimana diketahui, MEA melibatkan 10 negara Asean, yakni Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Total pasar dari 10 negara ini diperkirakan mencapai 625 juta penduduk.
Salah satu poin utama dalam skema MEA adalah kesepakatan menuju pasar tunggal atau single market untuk lima sektor, yakni bebasnya arus barang, jasa, modal, investasi, dan tenaga kerja terlatih dari dan menuju 10 negara anggota Asean. Namun, poin penting lain yang kurang diperhatikan adalah roadmap Asean untuk bersinergi memperkuat daya saing regional.
Sayangnya, kata Shinta, sesama anggota Asean sendiri masih memiliki persepsi bahwa MEA semata-mata ajang kompetisi. Sehingga, yang muncul adalah ketakutan dan kekhawatiran jika nanti suatu produk atau tenaga kerja dari suatu negara membanjiri negara lain. ”Meningkatkan daya saing negara penting, tapi meningkatkan daya saing Asean di tingkat global, itu sebenarnya tujuan utama MEA,” kata pebisnis yang menduduki jabatan wakil ketua di KADIN Indonesia dan Apindo tersebut.
Hal itu sejalan dengan pandangan Menteri Perdagangan Thomas Lembong. Dalam pernyataan resminya, dia menyebut jika Indonesia dan negara Asean lainnya kini menghadapi kekuatan besar Tiongkok dengan populasi 1,4 miliar penduduk maupun Amerika Serikat (AS) yang memiliki ekonomi terbesar dunia. ”Opsinya, menghadapinya sendiri-sendiri, atau bersatu dalam wadah Asean,” ucapnya.
Thomas mengatakan, dengan total populasi 625 juta penduduk dan ekonomi hingga USD 3 triliun, 10 negara Asean akan lebih kuat jika bersatu untuk menghadapi raksasa ekonomi global lainnya, dibandingkan jika dihadapi oleh masing-masing, sebagai Indonesia, Malaysia, atau sebagai Singapura. ”Sehingga, wadah Asean sebagai organisasi regional sangat penting,” ujarnya.
Karena itu, menurut Shinta, Indonesia dan negara Asean lainnya punya dua PR besar. Pertama, meningkatkan daya saing internal. Ke dua, meningkatkan daya saing Asean secara kolektif di tengah makin bebasnya perdagangan dunia. ”Jadi di tahap awal pemberlakuan MEA, saya kira masih akan ada penyesuaian-penyesuaian di tiap negara,” ucapnya.
Dari sisi daya saing, owner dan CEO Sintesa Group mengakui Indonesia masih harus banyak berbenah. Dia mengambil contoh dari sisi infrastruktur transportasi yang menjadi salah satu titik lemah Indonesia. Gara-gara kurangnya infrastruktur, pelaku usaha di Indonesia harus menanggung biaya transportasi yang sangat tinggi hingga sekitar 20 persen dari nilai produk. ”Padahal, biaya transportasi di beberapa negara Asean lain hanya 7 persen,” ujarnya.
Meski demikian, Shinta yang berpengalaman puluhan tahun sebagai pengusaha menyatakan, dengan kondisi seperti itu pun, para pelaku usaha Indonesia selama ini sudah cukup bisa bersaing. Karena itu, dengan berbagai langkah pemerintah saat ini seperti deregulasi maupun pembangunan infrastruktur besar-besaran, daya saing Indonesia akan kian kuat di internal Asean. ”Jadi kita bisa optimistis soal itu,” katanya.
Untuk itu, Shinta menyatakan jika pemerintah Indonesia dan negara Asean lainnya kini harus mulai fokus membahas integrasi Asean sebagai satu kekuatan ekonomi. Setidaknya, kata dia, ada tiga langkah yang mesti ditempuh. Pertama, harmonisasi regulasi. Ke dua, penerapan standar produk Asean. Ke tiga, strategi agar bisa masuk dalam rantai pasok global. ”Hal-hal itu yang dibahas di rapat presiden maupun wapres,” ucapnya.
Sementara itu, Sekjen Kementerian Perindustrian Syarif Hidayat mengatakan, penguatan daya saing industri terus dilakukan dalam menghadapi MEA. Namun ia mengaku tidak terlalu mengkhawatirkan kompetisi dalam hal barang. Sebab sejatinya bea masuk barang di negara ASEAN mayoritas sudah nol persen.”Di ASEAN sekitar 90 persen barang bea masuknya sudah nol persen,” ujarnya.
Syarif menilai secara umum pelaku industri sudah terbiasa berkompetisi di kancah regional maupun pasar dalam negeri. Hanya saja masih perlu bantuan pemerintah dalam rangka mengurangi beban industri.”Beruntung akhir tahun lalu pemerintah banyak mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang tentunya akan mendongkrak daya saing produk,” tambahnya.
Justru yang perlu dikhawatirkan, kata Syarif, adalah sektor jasa karena banyak pekerja industri yang belum kompeten. Jika dibiarkan, dia khawatir akan banyak tenaga kerja dari negara tetangga yang masuk Indonesia.”Misalkan tenaga ahli bidang tekstil, otomotif, sepatu itu perlu ditingkatkan karena sifat pekerjanya membutuhkan skill. Jadi berdasar kompetensi,” katanya.
Oleh karena itu dalam waktu dekat pihaknya akan bertemu dengan organisasi pengusaha seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) untuk membicarakan mengenai hal ini.”Pemerintah mendorong dan mengharapkan peran aktif Kadin, Apindo dalam pembangunan tenaga kerja industri. Kita perlu dorong bersama,” tuturnya.
Dia memberi contoh, perlunya ditingkatkan program pemagangan industri untuk para siswa sekolah umum maupun kejuruan.”Ini bertujuan untuk memberikan pengalaman dan kemampuan praktek kerja sehingga calon tenaga kerja benar-benar memiliki kompetensi yang sesuai dan siap bekerja pada industri tersebut. Tentunya itu perlu bantuan pengusaha,” tandasnya.
Selain itu pihaknya juga akan membicarakan dengan Kementerian Pendidikan terkait dengan perlunya memasukkan kurikulum berbasis industri di sekolah kejuruan. Dengan begitu calon tenaga kerja sudah memahami tentang budaya bekerja di industri.”Kita butuh 600 ribu pekerja industri setiap tahun, jangan sampai tenaga kerja asing yang menikmati peluang itu,” paparnya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryani SF Motik mengatakan, pada dasarnya industri-industri besar seperti di sektor otomotif atau furniture akan mampu bersaing di era MEA. “Banyak industri besar kita yang sanggup serang negara tetangga dengan ekspor besar-besaran, seperti otomotif, furnitur, makanan-minuman,” terangnya.
Namun pihaknya justru mengkhawatirkan sektor usaha kecil dan menengah (UKM) yang sepertinya kurang mendapat perhatian pemerintah. Terbukti dalam paket kebijakan ekonomi beberapa waktu lalu tidak terlihat upaya membentengi UKM dari ketatnya persaingan.”UKM kita tidak siap sama sekali, buktinya belum banyak yang mampu ekspor atau punya cabang di negara lain,” sebutnya.
Penurunan bunga KUR (kredit usaha rakyat) dari 12 persen menjadi sembilan persen dinilai belum mampu mendongkrak kinerja UKM secara optimal. Pasalnya suku bunga kredit di negara-negara tetangga sudah di bawah lima persen.”UKM kita bisa dilibas karena terbebani bunga tinggi, plafon pinjamannya juga hanya sampai Rp 500 juta bagaimana mau ekspansi,” jelasnya. (owi/wir/jpg/ipol)
- See more at: http://www.indopos.co.id/2016/01/mea-itu-untuk-ajang-kolaborasi-bukan-arena-ajang-pertarungan-bebas.html#sthash.hqQxR42A.dpuf

MEA Itu untuk Ajang Kolaborasi Bukan Arena Ajang Pertarungan Bebas

 16 Google +0  0  0  0  0
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015. Foto: rmol.co
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Foto: rmol.co
JAKARTA, indopos.co.id – Skema Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau Asean Economic Community (AEC) sudah resmi berlaku mulai 31 Desember 2015. Indonesia pun harus bergerak cepat untuk mengoptimalkan MEA.
Anggota Tim Ahli Wakil Presiden Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, selama ini banyak yang salah kaprah yang mengibaratkan MEA layaknya arena pertarungan bebas antar negara Asean. ”Padahal, misi utama MEA itu untuk kolaborasi,” ujarnya kemarin (1/1).
Sebagaimana diketahui, MEA melibatkan 10 negara Asean, yakni Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Total pasar dari 10 negara ini diperkirakan mencapai 625 juta penduduk.
Salah satu poin utama dalam skema MEA adalah kesepakatan menuju pasar tunggal atau single market untuk lima sektor, yakni bebasnya arus barang, jasa, modal, investasi, dan tenaga kerja terlatih dari dan menuju 10 negara anggota Asean. Namun, poin penting lain yang kurang diperhatikan adalah roadmap Asean untuk bersinergi memperkuat daya saing regional.
Sayangnya, kata Shinta, sesama anggota Asean sendiri masih memiliki persepsi bahwa MEA semata-mata ajang kompetisi. Sehingga, yang muncul adalah ketakutan dan kekhawatiran jika nanti suatu produk atau tenaga kerja dari suatu negara membanjiri negara lain. ”Meningkatkan daya saing negara penting, tapi meningkatkan daya saing Asean di tingkat global, itu sebenarnya tujuan utama MEA,” kata pebisnis yang menduduki jabatan wakil ketua di KADIN Indonesia dan Apindo tersebut.
Hal itu sejalan dengan pandangan Menteri Perdagangan Thomas Lembong. Dalam pernyataan resminya, dia menyebut jika Indonesia dan negara Asean lainnya kini menghadapi kekuatan besar Tiongkok dengan populasi 1,4 miliar penduduk maupun Amerika Serikat (AS) yang memiliki ekonomi terbesar dunia. ”Opsinya, menghadapinya sendiri-sendiri, atau bersatu dalam wadah Asean,” ucapnya.
Thomas mengatakan, dengan total populasi 625 juta penduduk dan ekonomi hingga USD 3 triliun, 10 negara Asean akan lebih kuat jika bersatu untuk menghadapi raksasa ekonomi global lainnya, dibandingkan jika dihadapi oleh masing-masing, sebagai Indonesia, Malaysia, atau sebagai Singapura. ”Sehingga, wadah Asean sebagai organisasi regional sangat penting,” ujarnya.
Karena itu, menurut Shinta, Indonesia dan negara Asean lainnya punya dua PR besar. Pertama, meningkatkan daya saing internal. Ke dua, meningkatkan daya saing Asean secara kolektif di tengah makin bebasnya perdagangan dunia. ”Jadi di tahap awal pemberlakuan MEA, saya kira masih akan ada penyesuaian-penyesuaian di tiap negara,” ucapnya.
Dari sisi daya saing, owner dan CEO Sintesa Group mengakui Indonesia masih harus banyak berbenah. Dia mengambil contoh dari sisi infrastruktur transportasi yang menjadi salah satu titik lemah Indonesia. Gara-gara kurangnya infrastruktur, pelaku usaha di Indonesia harus menanggung biaya transportasi yang sangat tinggi hingga sekitar 20 persen dari nilai produk. ”Padahal, biaya transportasi di beberapa negara Asean lain hanya 7 persen,” ujarnya.
Meski demikian, Shinta yang berpengalaman puluhan tahun sebagai pengusaha menyatakan, dengan kondisi seperti itu pun, para pelaku usaha Indonesia selama ini sudah cukup bisa bersaing. Karena itu, dengan berbagai langkah pemerintah saat ini seperti deregulasi maupun pembangunan infrastruktur besar-besaran, daya saing Indonesia akan kian kuat di internal Asean. ”Jadi kita bisa optimistis soal itu,” katanya.
Untuk itu, Shinta menyatakan jika pemerintah Indonesia dan negara Asean lainnya kini harus mulai fokus membahas integrasi Asean sebagai satu kekuatan ekonomi. Setidaknya, kata dia, ada tiga langkah yang mesti ditempuh. Pertama, harmonisasi regulasi. Ke dua, penerapan standar produk Asean. Ke tiga, strategi agar bisa masuk dalam rantai pasok global. ”Hal-hal itu yang dibahas di rapat presiden maupun wapres,” ucapnya.
Sementara itu, Sekjen Kementerian Perindustrian Syarif Hidayat mengatakan, penguatan daya saing industri terus dilakukan dalam menghadapi MEA. Namun ia mengaku tidak terlalu mengkhawatirkan kompetisi dalam hal barang. Sebab sejatinya bea masuk barang di negara ASEAN mayoritas sudah nol persen.”Di ASEAN sekitar 90 persen barang bea masuknya sudah nol persen,” ujarnya.
Syarif menilai secara umum pelaku industri sudah terbiasa berkompetisi di kancah regional maupun pasar dalam negeri. Hanya saja masih perlu bantuan pemerintah dalam rangka mengurangi beban industri.”Beruntung akhir tahun lalu pemerintah banyak mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang tentunya akan mendongkrak daya saing produk,” tambahnya.
Justru yang perlu dikhawatirkan, kata Syarif, adalah sektor jasa karena banyak pekerja industri yang belum kompeten. Jika dibiarkan, dia khawatir akan banyak tenaga kerja dari negara tetangga yang masuk Indonesia.”Misalkan tenaga ahli bidang tekstil, otomotif, sepatu itu perlu ditingkatkan karena sifat pekerjanya membutuhkan skill. Jadi berdasar kompetensi,” katanya.
Oleh karena itu dalam waktu dekat pihaknya akan bertemu dengan organisasi pengusaha seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) untuk membicarakan mengenai hal ini.”Pemerintah mendorong dan mengharapkan peran aktif Kadin, Apindo dalam pembangunan tenaga kerja industri. Kita perlu dorong bersama,” tuturnya.
Dia memberi contoh, perlunya ditingkatkan program pemagangan industri untuk para siswa sekolah umum maupun kejuruan.”Ini bertujuan untuk memberikan pengalaman dan kemampuan praktek kerja sehingga calon tenaga kerja benar-benar memiliki kompetensi yang sesuai dan siap bekerja pada industri tersebut. Tentunya itu perlu bantuan pengusaha,” tandasnya.
Selain itu pihaknya juga akan membicarakan dengan Kementerian Pendidikan terkait dengan perlunya memasukkan kurikulum berbasis industri di sekolah kejuruan. Dengan begitu calon tenaga kerja sudah memahami tentang budaya bekerja di industri.”Kita butuh 600 ribu pekerja industri setiap tahun, jangan sampai tenaga kerja asing yang menikmati peluang itu,” paparnya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryani SF Motik mengatakan, pada dasarnya industri-industri besar seperti di sektor otomotif atau furniture akan mampu bersaing di era MEA. “Banyak industri besar kita yang sanggup serang negara tetangga dengan ekspor besar-besaran, seperti otomotif, furnitur, makanan-minuman,” terangnya.
Namun pihaknya justru mengkhawatirkan sektor usaha kecil dan menengah (UKM) yang sepertinya kurang mendapat perhatian pemerintah. Terbukti dalam paket kebijakan ekonomi beberapa waktu lalu tidak terlihat upaya membentengi UKM dari ketatnya persaingan.”UKM kita tidak siap sama sekali, buktinya belum banyak yang mampu ekspor atau punya cabang di negara lain,” sebutnya.
Penurunan bunga KUR (kredit usaha rakyat) dari 12 persen menjadi sembilan persen dinilai belum mampu mendongkrak kinerja UKM secara optimal. Pasalnya suku bunga kredit di negara-negara tetangga sudah di bawah lima persen.”UKM kita bisa dilibas karena terbebani bunga tinggi, plafon pinjamannya juga hanya sampai Rp 500 juta bagaimana mau ekspansi,” jelasnya. (owi/wir/jpg/ipol)
- See more at: http://www.indopos.co.id/2016/01/mea-itu-untuk-ajang-kolaborasi-bukan-arena-ajang-pertarungan-bebas.html#sthash.hqQxR42A.dpuf

0 komentar:

Posting Komentar